Posted in LOVE

Kedai Kopi Merapi

Pernah membayangkan menghabiskan pagi dengan menyeruput secangkir kopi pahit di kaki Gunung Merapi? Ya, saya selalu memimpikan disuguhi kopi terbaik dengan latar belakang pegunungan cantik yang satu ini. Apalagi  saat pagi malas bersua dengan terik, rasanya ingin terus bersemedi di kaki gunung dan mabuk kafein.

Merapi yang dilibas mendung pun menjadi hadiah terbaik pagi itu.  Setelah satu jam perjalanan, akhirnya saya kembali merapat di Kedai Kopi Merapi. Kembali merapat? Ya, sebelumnya saya telah sowan ke Desa Petung Cangkringan dalam ketergesaan. Hingga niatan ngopi di kedai ini pun saya urungkan.

Secangkir Kopi dan Gula
Secangkir Kopi dan Gula

Sehingga, saat mendung mulai menyelimuti Merapi, saya pun memiliki alasan untuk ‘nambah’ secangkir kopi karena takut dingin. Saya lebih takut kedinginan daripada kembung karena kebanyakan minum kopi. Saya memesan dua cangkir kopi kala itu.Dua cangkir kopi Arabica favorit yang siap menenggelamkan rasa penasaran berbulan-bulan lalu.

Ditemani oleh Bapak-bapak sopir truk, saya ngopi dengan santai. Latar belakang  Gunung Merapi memang menakjubkan, tetapi jauh lebih menarik lagi saat mengamati aktivitas penduduk. Saya gagal memahami rasa takut saat melihat truk-truk merayap memunguti sisa-sisa material ledakan Merapi. Beranikah mereka menantang maut seperti itu?

Kedai Sederhana
Kedai Sederhana

Saat truk tengah merayap, terdengar gelegar dari mobil-mobil jeep pelancong. Para penumpang nampak kegirangan saat mobil menerobos jalan terjal dalam kecepatan tinggi. Menyisakan debu yang siap menyerbu kopi saya. Duh, kasihan si kopi ini.

Gardu Pandang
Gardu Pandang

Jalan gundul tanpa aspal ini sukses dilibas demi receh-receh yan menghidupi mereka. Inilah jalan yang mereka pilih untuk menyambung hidup. Maklum, mereka telah kehilangan rumah, tanah, dan desa mereka. Sekali lagi mereka berkompromi dengan Merapi dan melanjutkan hidup.

Saya pun kembali menyeruput kopi panas ini dan mengobrol dengan seorang warga desa. Kopi-kopi di kedai ini memang berasal dari penyimpanan sebelum terjadi erupsi merapi. Tapi, hingga kini kebun kopi masih dapat dijumpai. Hanya saja jumlahnya tak sebanyak dulu.

Kedai Sederhana
Kedai Sederhana

Saya menatap berkeliling, kedai ini membuat saya jatuh cinta lagi. Kesederhanaanlah yang Kedai Kopi Merapi ajarkan. Lihatlah! Rumah-rumah kayu tanpa polesan inilah yang menjadi gubuk para penggila kopi merapi untuk duduk bersantai. Kesan trandisional dan sederhana inilah yang mengundang. Kopi pun disajikan tanpa ‘make-up’, segelas kopi dan segelas gula pasir. Namun, jangan ditanya rasanya, bikin nambah.

Semangkuk Mie Rebus
Semangkuk Mie Rebus

Tanpa terasa perutpun turut bergejolak. Saya memesan semangkuk mie rebus. Pagi yang luar biasa. Kedinginan di Desa Petung sembari minum kopi dan makan  mie rebus. Dan fakta mengejutkan lainnya, Merapi berdiri tegak dengan gagahnya tak jauh dari sini.

Pemilik Kedai Kopi Merapi
Pemilik Kedai Kopi Merapi

Kedai Kopi Merapi berhasil menghangatkan jemari-jemari dan perut saya. Aromanya mampu menghipnotis rasa penasaran yang mengundang. Hingga saya menyadari, suatu saat nanti kedai kopi ini mungkin akan kehilangan kesederhanannya. Saat kepopuleran menyambut tak menutup kemungkinan kedai ini akan dipermak menjadi kafe yang berdiri di kaki Gunung Merapi. Bukan lagi kedai sederhana yang saya cintai apa adanya.

Leave a comment